Persona Waktu-Sejarah Memotong Orde


oleh Kiki Sulistyo

Semua yang berlangsung di sekitar kita sekarang ini bukanlah situasi terberi yang begitu saja terjadi. Ia hasil dari kontinuitas yang bergerak sejak berabad-abad lampau. Setiap kali kita menengok ke masa lalu, kita seperti didorong oleh motif untuk melacak kenapa dan bagaimana kita sekarang berada di sini, dalam situasi seperti ini. Ketika pelacakan itu menemukan semacam rangkaian, kita dapat menyebutnya sebagai sejarah—sebutir kata yang cenderung dijulurkan ke masa lalu. Agar dapat menemukan masa lalu, kita membutuhkan barang bukti. Bila bukan bukti material, cukuplah bukti representasional. Bukti-bukti itu kita tempatkan sebagai arsip—sebutir kata yang, sama dengan sejarah, cenderung dijulurkan ke masa lalu. 

Masa lalu hanya bisa menjadi sejarah apabila ada narasi yang mengantarkannya ke masa kini. Narasi juga sekaligus bekerja sebagai bingkai yang di permukaannya membatasi ruang dan waktu sejarah, dan di kedalamannya membatasi kepentingan yang menjadi motif pembentukan sejarah tersebut. Sejarah dibentuk oleh mereka yang berkuasa, begitu ujar satu ungkapan. Dalam ungkapan itu tersirat makna bahwa sejarah tidak sepenuhnya faktual, ia juga mengandung sifat fiksional, dan sifat tersebut dimungkinkan tak lain oleh narasi yang membingkainya. Narasi, dalam hal ini, tidak eksplisit sebagai teks yang ditulis atau diucap, atau sebagai pemberi keterangan bagi gambar, ia implisit sebagai artikulasi tersembunyi dari suatu kepentingan. 

Naskah Cut Out [I] hampir sepenuhnya menggunakan beragam arsip. Riyadhus Shalihin, si penulis, mengumpulkan bahan dari barang bukti sejarah untuk mendirikan bangunan artistiknya. Dengan begitu, bangunan artistik tersebut seakan memiliki dua modus yang berpunggungan, yakni sejarah sebagai modus teater dan teater sebagai modus sejarah. Modus pertama sebagai spectacle, modus kedua sebagai produk pengetahuan; modus pertama berhubungan dengan kepentingan artistik, modus kedua berhubungan dengan kepentingan wacana. Keduanya kian terkait dan terikat sebab wacana yang disodorkan tak lain adalah wacana artistik. Sebagai narasi, wacana artistik dalam naskah menyoroti posisi seni di tengah arus sejarah, terutama yang berhubungan dengan politik kekuasaan, identitas, dan ideologi.

Sejarah sebagai modus teater membersihkan naskah dari persona dramatik. Tidak ada protagonis, tidak ada antagonis, karena itu, tidak ada acting. Teks naskah berwatak performatif sekaligus eksibisionis, cenderung bergerak sebagai happening art. Pertunjukan bisa serupa museum dan naskah serupa katalog. Barang bukti sejarah dapat dilihat di katalog yang telah dilengkapi petunjuk display.

Teater sebagai modus sejarah mengembalikan makna sejarah yang separo fiksi; membawa sejarah kembali sebagai “panggung sandiwara”. Semua tokoh-tokoh sejarah yang diangkut telah menjadi setengah pelakon. Watak teater memungkinkan untuk membuat apa dan siapa yang telah lalu dan berada di sana, menjadi selalu kini dan berada di sini.       

Cut Out [I] berangkat dari masa kolonial. Ia dimulai dari kutipan laporan Gubernur Jenderal Van Den Bosch yang provokatif soal intelektualitas orang Jawa. Laporan tersebut memang tampak tak berhubungan langsung dengan wacana artistik, malah berhubungan dengan perkara etnis, dan karenanya perkara identitas. Namun, perkara identitas, ketika disungkupkan ke dalam cangkang imajinatif nasionalisme, akan langsung mengandung masalah ketika orang memandang suatu ekspresi artistik, misalnya ketika orang membicarakan Raden Saleh. Manakala cangkang imajinatif itu mulai menemukan bentuk formalnya sebagai Indonesia, ada sosok S. Sudjojono yang mengumumkan sikap artistiknya yang anti ekspresi keindahan via mata Eropa, hal yang otomatis berkebalikan dengan pilihan artistik Raden Saleh. Dapat kita lihat bagaimana di paro awal Cut Out [I], dua pelukis tersebut bak “tokoh utama”. Itu siasat yang tepat, sebab keduanya bukan hanya berbeda dalam pilihan artistik, melainkan juga berbeda hampir segalanya, sehingga kita dapat memandang terbentuknya embrio identitas ke-Indonesia-an yang sampai sekarang, dan sampai kapan pun, tak pernah berhenti berayun. Perkara identitas tersebut berkali-kali digemakan dalam naskah, misalnya melalui kutipan, yang dibingkai sehingga tampak pertentangannya, dari Sutan Takdir Alisjahbana agar Indonesia belajar kepada Barat dan sebaliknya cemoohan Soekarno terhadap budaya Barat.

Perkara identitas dalam wacana artistik terus berkembang dan bersangkut-paut dengan politik kekuasaan dan ideologi negara, menjadi bagian dari pelbagai peristiwa yang menentukan nasib banyak orang. Perkara itu kelak diredam-sembunyikan di bawah sekam kuasa Orde Baru yang cengkeramannya sampai ke wilayah reproduksi melalui program Keluarga Berencana. Dan di bawah kekuasaan tiran itu, wacana artistik pun turut redam-sembunyi, menyisa sekadar Mars penjaja program negara. 

Cut Out [I] hampir sepenuhnya impersonal, mereduksi drama ke titik hampa. Maka ketika di bagian akhir, dalam sekali lempar, gambar berayun antara kesibukan transportasi di Jakarta pada jam pulang kerja dan kekosongan meja makan serta televisi yang terus menyala, ada gelagat bahwa Cut Out [I] tak lain adalah latar dari drama yang bakal tiba.  

Cut Out [II]

Impersonalitas tak memungkinkan bagi kelahiran drama, maka dibutuhkan setidaknya seorang karakter personal. Pada Cut Out [II], karakter personal itu ditampilkan sebagai tokoh lelaki, seorang aktor panggung, yang berkali-kali terbangun di kamarnya di Bandung. Dengan begitu, modus yang pada Cut Out [I] berpunggungan, pada Cut Out [II] ditambah lapisannya. Jika sejarah sebagai modus teater menghapus persona dramatik, sedangkan persona dramatik hendak dihadirkan, maka persona dramatik yang tepat untuk itu ialah yang datang dari teater itu sendiri. Kemungkinan modusnya jadi bertambah satu lapis, yakni teater sebagai modus teater. Memilih aktor panggung sebagai karakter utama jadi tampak memiliki tujuan. Internalisasi bangunan artistik dari Cut Out [I] dapat berlangsung dalam diri tokoh lelaki, sebab ia seorang aktor panggung. Lagipula, pembocoran biografi si penulis, barangsiapa mengenalnya, samar-samar terpindai di sana, memperkuat gravitasi naskah agar tetap berputar dalam orbitnya, sehingga lebih memungkinkan untuk membangun meta-fiksi, dan karenanya meta-teater. 

Sejak awal tokoh lelaki sudah muncul, dan langsung menjadi pusat. Apabila impersonalitas dalam Cut Out [I] mereduksi drama, personalitas dalam Cut Out [II] dengan leluasa menyusun drama di dalam drama; melepaskan tokoh-tokoh fiksi dari naskah-naskah yang ditulis orang lain, dan membiarkan mereka berperan atau berhubungan dengan tokoh lelaki kita, serta dapat keluar-masuk pelbagai ruang, peristiwa, serta isu-isu yang selama ini telah telanjur dipisahkan oleh kategori fakta-fiksi. Kemungkinan narasi jadi meluas; jika dalam Cut Out [I] narasi bergerak seputar wacana artistik dalam hubungannya dengan politik kekuasaan, identitas, dan ideologi, dalam Cut Out [II] narasi meluas ke timbul-tenggelamnya nasib para persona di tengah hubungan tersebut.  

Dalam kaos semacam itu, tetap ada yang teratur, tetap ada kosmos yang setia pada struktur. Apa yang pokok dalam sejarah adalah waktu. Karena itu, struktur waktu, baik dalam Cut Out [I] maupun Cut Out [II] cenderung setia mengikuti struktur kronologis yang dibentuk oleh waktu-sejarah, yakni waktu yang bergerak dari masa lalu ke masa kini. Kecuali itu, perspektif yang menavigasi naskah, tak bisa dibilang berbeda dari perspektif yang telah berkembang terutama di dekat-dekat dan setelah keruntuhan Orde Baru. Tokoh-tokoh sejarah, maupun arsip-arsip, yang diangkut ke dalam naskah, juga adalah tokoh-tokoh dan arsip-arsip yang relatif dikenal dan sudah berseliweran dalam berbagai pembicaraan. Bagaimana pun juga, naskah pertunjukan bukanlah laporan hasil riset ilmiah, meski ia bisa mengartikulasikan kembali suatu hasil riset sesuai dengan wataknya. 

Jika suatu pertunjukan bukan memainkan naskah melainkan memainkan tafsir terhadap naskah, maka naskah Cut Out menantang para penafsir untuk memanggungkan tafsir tersebut melalui visi yang setia pada perspektif yang sudah dibangun di luar pertunjukan, seraya tak setia pada perspektif yang selama ini sudah membangun dunia pertunjukan.          

Berita Lainnya

  • Menyabung Kekalahan

    oleh Santi Dewi Ketika pertama kali membaca judul naskah lakon ini, saya…

    baca lebih lanjut

  • Bahasa Teror, Martir Munir

    oleh Ida Bagus Uttarayana Rake Sandjaja “Teror”, dari noun menuju verb Setelah…

    baca lebih lanjut

  • Warisan Moechtar: Keluarga yang Pecah

    Oleh Ida Bagus Uttarayana Rake Sandjaja Membaca lakon Keluarga Moechtar karya Bintang…

    baca lebih lanjut

  • Beri Aku Kota Makassar yang Dulu

    Oleh Santi Dewi Naskah lakon ini merupakan respons terhadap isu-isu sosial dan…

    baca lebih lanjut