oleh Gilang “Gilbo” Alamsyah
Lakon Bukan Perjaka adaptasi dari karya Nuril Basri oleh Trisa Triandesa, menceritakan tentang tiga orang remaja laki-laki yang bernama Ricky, Yusuf, dan Paris yang sama-sama butuh jawaban atas berbagai masalah hidup mereka. Jawaban atas pertanyaan tentang jati diri, identitas, orientasi seksual, hingga arah hidup mereka.
Adegan pertama adalah kemunculan tokoh Ricky yang mengenakan baju koko, peci putih, sarung, sajadah, dan memegang Al Quran serta kitab kuning. Ricky memulai dialog pertama dengan kata-kata, ‘Tidak semua anak pesantren datang untuk menimba ilmu agama. Ada yang melarikan diri dari rumah, ada yang diusir dari rumah, dan ada yang tidak tahu arah hidupnya sehingga pesantren menjadi tujuan termudah’. Teks pertama yang ditujukan kepada penonton menjadi semacam pernyataan bahwa ada hal yang tidak baik-baik saja sedang terjadi. Ricky seperti tidak tahan dengan lingkungan pesantren. Lingkungan yang konon dipercayai sebagai lingkungan yang suci, sakral, dan profan.
Melalui tokoh Ricky, kita juga disuguhi peristiwa jual-beli agama. Pada salah satu adegannya, Ricky diminta untuk mempersiapkan mahar sebagai ganti bermacam-macam syarat untuk ilmu kebatinan yang diajarkan oleh salah satu ustaz di pesantrennya. Pesantren dalam pengalaman Ricky, tak ubahnya sebuah pasar yang memperdagangkan keyakinan semu, yang membuat ia mempertanyakan kembali kepercayaannya.
Tokoh selanjutnya adalah Paris. Dalam naskah diketahui bahwa Paris mempunyai nama asli Muhammad Farisyi. Alih-alih memakai nama aslinya, ia memilih Paris sebagai nama panggilannya. Seperti sebuah nama kota yang memiliki julukan ‘Kota Cinta’. Setelahnya, dapat kita baca bahwa Paris memiliki gaya yang ngondek, sebuah istilah slang dalam bahasa Indonesia untuk menggambarkan ekspresi yang dianggap feminim pada laki-laki. Seperti yang terbaca pada teks Ricky ‘Ssst! Jangan ngengondekan di sini, nanti dilihat sama santri lain. Bebanciannya di kamar aja’. Tampak ada tekanan pada tokoh untuk menyembunyikan karakternya. Di sisi lain, penulis ingin memberi komedi melalui karakter yang penuh paradoks, termasuk melalui kepercayaan tokoh Paris, ‘meskipun diawali dengan Muhammad, tapi dia umat kristiani’.
Lalu ada Yusuf, seorang santri sekaligus teman sekamar Ricky di pesantren. Yusuf kemudian bertemu dengan Paris. Yusuf belajar chatting di MiRC dan membuat akun facebook dari Paris, yang adalah teman sekolah Ricky. Yusuf memulainya dari terbukanya akses informasi, dari yang semula terbatas dan tertutup menjadi terbuka tanpa batas. Termasuk terbukanya pada akses ‘kirim-kirim foto telanjang’. Hingga pada suatu peristiwa, Yusuf yang dalam dogma Islam adalah nabi yang saleh dan tampan itu, memilih Yesy sebagai nama panggilannya.
Ada norma yang kadung terbentuk dalam masyarakat dengan begitu kuatnya, dan melalui ketiga tokoh ini, norma tersebut coba untuk dipertanyakan ulang bahkan dibongkar. Termasuk perjuangan atas stigma yang cenderung tidak mencerminkan realitas dari ketiga tokoh ini, dalam kehidupan sehari-hari.
Bukan Perjaka menghadirkan tiga latar peristiwa, yaitu pesantren, bar, dan hotel. Ketiganya ulang alik, saling isi, cenderung patah dan stakato. Memunculkan efek yang ritmis, cepat, langsung tertuju pada inti peristiwa. Mungkin hal tersebut merupakan efek atas kerja adaptasi novel. Berdasar yang tertulis pada naskah ini, ia seperti ditulis untuk dibacakan pada New Indonesia Play Showcase 2019. Sehingga mungkin saja ada durasi yang mesti dipatuhi, mungkin juga semacam siasat agar narasi yang dibawakan bisa segera tertuju kepada pembaca atau penontonnya. Maka pilihan pemadatan peristiwanya cenderung bergerak cepat. Namun tentu saja ada dampak lain yang harus dipilih. Yaitu ketiadaan ruang untuk menjelaskan alasan dibalik ketiga karakter dalam naskah, memilih orientasi hidup mereka. Alasan ketiga tokoh berada dalam situasi dan lingkungan yang menjadi penentu arah hidup mereka selanjutnya.
Berbagai pendapat di atas tentu bisa diperdebatkan, bisa didiskusikan ulang, tapi ada satu adegan yang membuat kita sepaham. Ialah bahaya penyalahgunaan narkotika. Sialnya, karena ketidaktahuan dan ketidakmatangan berpikir, salah satu dari mereka harus meregang nyawa karena narkotika.
Melalui naskah ini, ketiga karakter seperti tidak mempunyai tempat bersandar. Mereka cenderung bergantung satu sama lain. Tidak diceritakan adanya tokoh lain yang menjadi oase bagi perjalanan mereka dalam mencari jati diri dan identitas. Mungkin saja keterbatasan durasi yang menjadi penyebab beberapa peristiwa cenderung kurang terbahas secara lebih mendalam.
Terakhir, kita mesti berharap, semoga tidak ada Ricky, Paris, dan Yusuf lain di luar sana yang harus melarikan diri, terusir, dan memilih tujuan termudah sebab tidak ada lagi tujuan yang lain, tidak ada tempat bersandar, dan cenderung diabaikan.