Bertukar Tangkap, Melepas Ingatan

Oleh Kiki Sulistyo

Bagaimana rasanya menjadi tua, tinggal di panti jompo, tapi masih terkenang cinta masa muda yang tak sampai?

Naskah Biar Kutulis Untukmu Sebuah Puisi Jelek yang lain, karya Andre Nur Latif, mengurai premis tersebut dengan nada humor yang pahit. Panti jompo sebagai latar tempat menghubungkan tiap karakter, sedangkan cinta sebagai tema serupa bayang-bayang yang hendak dibikin nyata, tapi selalu berada di luar hubungan-hubungan itu. 

Karakter-karakter yang dipergunakan berada dalam situasi berbeda dalam konteks jenjang kehidupan mereka, terutama yang berhubungan dengan urusan cinta dan rumah tangga. Dua tokoh utama, laki-laki tua dan wanita tua, berada di masa ketika segala sesuatu tinggal masa lalu. Sementara dua suster yang merawat mereka sedang berjalan menuju masa depan bersama pasangan masing-masing. Sedangkan karakter dokter, berada dalam situasi rumah tangga yang stabil, punya istri dan anak. Kita dapat membayangkan kemungkinan bahwa sang dokter juga punya cinta masa lalu yang tak sampai, yang kelak pada masa tuanya akan dikenangnya selalu. Kita juga dapat membayangkan bahwa para suster itu akan berpisah dengan kekasihnya masing-masing, dan mereka akan terus mengenang kekasihnya masing-masing ketika mereka sudah memasuki masa tua.  

Dengan lincah naskah ini merancang garis singgung antara satu situasi dan situasi lainnya melalui dialog-dialog yang efektif dan kerap lucu. Keberadaan karakter-karakter pendukung tidak menutupi peran karakter utama sebagai pusat cerita. Baik dokter maupun para suster bukan jenis orang yang agresif bertanya atau aktif membongkar pribadi karakter utama, sebaliknya para karakter utama yang aktif dan agresif mencoba mengetahui kehidupan pribadi para karakter pendukung, seakan mereka hendak mengatakan bahwa dokter dan para suster itu tidak mengalami apa yang mereka alami, dan mungkin saja mereka akan mengalaminya kelak. 

Interaksi antar karakter berlangsung dalam porsi yang wajar dan logis. Pada prinsipnya, interaksi tersebut hanya interaksi antara para profesional dengan klien-klien mereka, atau interaksi antar sesama klien, atau sesama profesional. Kewajaran interaksi, dengan memerhatikan prinsip itu, menghindarkan naskah dari melodrama berlebihan.   

Sebagaimana interaksinya, perwatakan para karakter juga dibangun dengan wajar. Karakter laki-laki tua terlihat lebih risau dan belum bisa sungguh-sungguh menerima takdirnya berada di panti jompo, sebab ia baru sebulan tinggal di sana. Sebaliknya, tokoh wanita tua kelihatan lebih tenang, sebab ia sudah enam tahun berada di sana, meski tak beda dengan tokoh laki-laki tua, ia juga cenderung rewel dan banyak bertanya. 

Selain pada perwatakan, kekuatan naskah ini terletak pada bangunan dialognya. Penggunaan banyak understatement, bukan cuma secara efektif membangun garis singgung antara satu situasi dan situasi lainnya, melainkan juga membuat dialog itu sendiri berayun lancar antara kewajaran obrolan sehari-hari dan bobot nilai dalam dialog tersebut. Ia bukan obrolan sehari-hari yang dipindahkan begitu saja ke dalam teks, ia teks yang memberi nilai bagi obrolan sehari-hari.

Jauh di dasar tema cinta masa lalu yang tak sampai, ada refleksi yang jernih perihal nostalgia, suatu keadaan yang dirumuskan Milan Kundera sebagai keinginan untuk pulang ke rumah yang sudah tidak ada. 

Meski wujud rumah tersebut, yang dalam konteks naskah ini ialah kekasih masa lalu, masih ada, ia tetap bukan rumah yang dirindukan sebagai tempat untuk pulang. Dengan kalimat lain, bukan rumah masa lalu itu yang diinginkan hadir oleh subjek pengenang di masa sekarang, melainkan subjek pengenanglah yang ingin kembali ke rumah masa lalu itu. Tentu saja itu hal mustahil, sebab rumah yang dimaksud itu sudah tidak ada. Namun, hanya dengan kemustahilan, seseorang dapat memelihara apa-apa yang berharga bagi dirinya, bahkan ketika dirinya sendiri terus berlalu. 

Permainan batas dalam relasi antara kedua karakter utama juga mengalami persinggungan dalam relasi para karakter utama dengan para karakter pendukung. Lihat, misalnya, bagaimana laki-laki tua dan wanita tua berusaha membangun relasi pribadi dengan dokter dan para suster melalui cerita tentang hidup mereka dan keingintahuan mereka perihal kehidupan dokter dan para suster tersebut. Sementara dokter dan para suster terus menjaga relasi dengan pasien mereka itu sebagai relasi profesional. Ketika kedua suster menyadari bahwa puisi yang dibacakan, baik oleh laki-laki tua maupun oleh wanita tua, adalah puisi yang sama, mereka seperti dipaksa melewati batas relasi profesional itu, mereka ditakdirkan untuk mengetahui bahwa di masa lalu laki-laki tua dan wanita tua pernah punya hubungan istimewa, dan mau tak mau mereka telah terlibat secara pribadi dengan kenyataan itu.  

Karena di bagian awal naskah ada keterangan bahwa laki-laki tua dan wanita tua tak lagi bisa mengingat dan mengenali yang lain maka dapat dipahami bahwa narasi naskah ini ialah soal apa yang pernah ada, bukan apa yang ada, apalagi yang masih ada. Maka ketika laki-laki tua dan wanita tua tidak sengaja bersua di gang terbuka panti jompo, itu bukanlah pertemuan yang diidam-idamkan, terlepas dari pasal bahwa mereka tidak lagi mengenal satu sama lain.        

Ketaksaan yang timbul dari situasi semacam itu, membuat naskah ini seperti mengandung puisi, sebab puisi kerap dibangun dalam situasi ketaksaan, yakni situasi, meminjam baris Amir Hamzah, bertukar tangkap dengan lepas, situasi yang serupa dengan apa yang dialami kedua karakter utama. Ketaksaan itu kian terang di adegan terakhir, di mana kita seakan melihat dua karakter utama saling menatap dari jendela kamar masing-masing, tapi kata-kata yang mereka ucapkan seperti tidak mengarah ke sana. Pada momen itu, ada sesuatu yang tertangkap persis ketika ada sesuatu yang terlepas. Dengan begitu, penggunaan puisi sebagai “properti” jadi tampak bukan sekadar tanda hubungan romantis, melainkan juga punya kaitan situasi dengan tema.

Melalui kisahan yang sederhana di permukaan, tapi situasi yang kompleks di kedalaman, naskah ini serupa puisi indah tentang nostalgia yang disusun bukan dengan bahasa berbunga-bunga, melainkan dengan bahasa sehari-hari yang kerap kocak dan mudah dipahami. 

Berita Lainnya

  • Persona Waktu-Sejarah Memotong Orde

    oleh Kiki Sulistyo Semua yang berlangsung di sekitar kita sekarang ini bukanlah…

    baca lebih lanjut

  • Rumah Tangga bagi Harimau dan Kucing

    oleh Gilang “Gilbo” Alamsyah Konon katanya, percekcokan kecil oleh dua orang suami-istri…

    baca lebih lanjut

  • Warisan Moechtar: Keluarga yang Pecah

    Oleh Ida Bagus Uttarayana Rake Sandjaja Membaca lakon Keluarga Moechtar karya Bintang…

    baca lebih lanjut

  • Bahasa Teror, Martir Munir

    oleh Ida Bagus Uttarayana Rake Sandjaja “Teror”, dari noun menuju verb Setelah…

    baca lebih lanjut