Oleh Raihan Robby
Dalam naskah lakon Benang-Benang yang Memilih Jalannya, Nurul Inayah melakukan tafsir ulang atas cerita rakyat Wajo, La Kuttu-Kuttu Paddaga. Upaya ini tidak sekadar membongkar struktur narasi lama, tetapi juga menyoroti bagaimana Naya—sapaan akrabnya—menggeser fokus cerita, memberi ruang lebih besar bagi agensi perempuan dalam masyarakat. Sebagai penulis naskah lakon perempuan di Makassar, perubahan perspektif ini menjadi langkah penting dalam menegaskan suara yang selama ini dibisukan oleh tradisi.
Dalam cerita rakyat La Kuttu-Kuttu Paddaga, tokoh perempuan cenderung pasif dalam menerima takdir yang telah disusun untuknya—sebuah nasib yang dijahit oleh adat dan dorongan keluarga untuk menikahi lelaki kaya tetapi tak dicintainya. Namun, dalam naskah lakon ini sejak awal telah menggambarkan ketegangan antara Tenri—si perempuan penenun—dengan ibunya. Ibunya meminta Tenri menyelesaikan kain tenunnya agar dapat menjadi lamming, sebagai syarat dan tanda kesiapan pernikahan.
Menariknya, Tenri tidak melawan dengan keras. Ia memilih jalan lain: berdiskusi dengan ibunya secara jernih, menggunakan akal dan hati, sekalipun berkali-kali ia merasa tak setuju. Perbincangan ini mengisyaratkan kesadaran Tenri akan trauma yang diwariskan oleh dominasi laki-laki dalam keluarga dan masyarakatnya—bahwa sang ibu pun terperangkap dalam siklus yang sama. Tenri ingin memutus pintalan luka tersebut.
Tetapi takdir tetap menuntut jalannya. Seperti dalam cerita rakyat, Tenri akhirnya menikah dengan laki-laki yang tidak ia cintai, La Ampa. Jika dalam versi asli mereka harus menunggu puluhan hari sebelum bisa bersenggama, Naya mengubahnya menjadi hanya tiga hari. Namun, di hari ketiga, La Ampa ingin menceraikan Tenri dengan alasan yang mengejutkan—selangkangan Tenri menguarkan bau tembolok ayam. Ini bukan kebetulan, melainkan sebuah aksi yang disengaja. Tenri sengaja membalurkan bau tersebut untuk membuktikan bahwa dirinya hanyalah objek seksual bagi sang suami. Pernikahan mereka pun berakhir dalam hitungan hari.
Naya secara kritis menggeser pusat penceritaan. Jika dalam versi asli La Kuttu-Kuttu Paddaga, lelaki yang dicap malas oleh masyarakat menjadi tokoh sentral, maka dalam naskah lakon ini, pusat narasi justru berada pada Tenri. Ia bukan lagi perempuan yang menyerah pada nasib, melainkan seseorang yang sejak awal menyadari keinginannya untuk merdeka—bebas dari nilai-nilai yang membatasi dan membungkam perempuan.
Tenri memilih jalannya sendiri. Ia mendobrak batas ketabuan, menolak dikendalikan oleh sistem yang mengekangnya. Dalam dirinya, ia menemukan kebebasan, dan dalam sosok La Kuttu-Kuttu Paddaga, ia menemukan cinta yang ia inginkan—bukan karena tuntutan sosial atau sebagai pelengkap bagi seorang lelaki, melainkan karena ketulusan dan kejujuran.
La Kuttu-Kuttu Paddaga menyadari kekurangannya, dan ia tidak malu mengakuinya pada Tenri. Justru dari kegilaan-kegilaan yang mereka jalani bersama, cinta mereka tumbuh dan membara—meskipun ditentang oleh banyak pihak.
Di bagian akhir naskah, benang-benang yang memilih jalannya sendiri semakin jelas. Sang ibu dan trauma turunannya, La Ampa dan warisan patriarki yang membentuknya, La Kuttu-Kuttu Paddaga dengan pertanyaannya tentang kebahagiaan, dan Tenri yang akhirnya menemukan kuasa atas tubuhnya sendiri, atas kain yang ia tenun, dan atas takdir yang ia genggam sendiri.