Beri Aku Kota Makassar yang Dulu

Oleh Santi Dewi

Naskah lakon ini merupakan respons terhadap isu-isu sosial dan lingkungan di Kota Makassar tahun 2017–2018. Naskah ini terdiri dari tiga pertunjukan utama: “Jangan Mati Sebelum Dia Tiba,” “Gila Orang Gila,” dan “Beri Aku Pantai yang Dulu.” Ketiga pertunjukan ini disusun dalam bentuk teater dokumenter yang terinspirasi dari riset langsung terhadap masyarakat Makassar dan persoalan yang mereka hadapi, seperti reklamasi Pantai Losari, peningkatan jumlah orang dengan gangguan jiwa, serta fenomena bunuh diri.

Naskah ini menyajikan suasana yang terasa kelam, mencekam, dan penuh simbolisme. Sebagai pembaca, atmosfer yang menghimpit dan menekan, baik secara fisik maupun emosional, langsung saya rasakan ketika membayangkan artistik dan laku para aktor. Pemanfaatan ruang sempit, cahaya merah yang menyorot, serta kalimat dan puisi yang penuh kepedihan menciptakan dramatisme yang semakin kuat. Saya pikir suasana yang dibangun melalui teks ini bukan sekadar perwujudan dramatik, melainkan sebuah realitas penderitaan dan absurditas kehidupan urban yang benar-benar terjadi di sekeliling kita. Masing-masing pertunjukan memiliki muatan emosional yang intens. Perasaan keterasingan, ketidakberdayaan, keputusasaan, dan perlawanan terhadap keadaan yang tak bisa diterima menjadi hal-hal yang berkelindan.

Dengan menggunakan teknik montase, naskah ini menawarkan berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan nyata, yang kemudian diolah menjadi fragmen-fragmen dan disajikan secara simultan. Jika berbicara mengenai ruang pertunjukan, saya bisa membayangkan bagaimana lorong sempit itu bisa terasa sangat mengintimidasi dan membuat kita merasa memiliki ruang gerak yang terbatas, terlebih dalam “Jangan Mati Sebelum Dia Tiba” dan “Gila Orang Gila,” yang memberikan kesan terperangkap bagi aktor maupun penonton.

Sementara dalam “Beri Aku Pantai yang Dulu,” penggunaan layar putih dengan gambar-gambar bergerak serta ruang yang lebih lengang membuat saya membayangkan bagaimana proyek reklamasi itu menjadi sebuah perluasan wilayah yang tak lagi terasa dekat dan menjadi asing bagi penduduknya. Kelengangan adalah suatu kehilangan, dan layar menjadi visual yang menggambarkan realitas yang semakin jauh dan tak dapat lagi disentuh secara langsung. Oleh karena itu, ruang-ruang dalam pertunjukan ini bukan sekadar latar belakang bagi adegan, tetapi juga menjadi bagian esensial dari narasi yang ingin disampaikan.

Karakter dalam naskah ini tidak disebutkan dengan nama atau watak-watak tertentu, melainkan diidentifikasi sebagai Aktor A, B, C, dan D. Hal ini memperlihatkan bahwa naskah lebih menekankan pada kondisi psikologis dan sosial ketimbang individualitas tokoh. Setiap aktor mewakili berbagai lapisan masyarakat yang terpinggirkan, kehilangan identitas, atau terjebak dalam realitas yang tidak mereka pahami. Karakterisasi mereka diperkuat melalui gerakan tubuh, ekspresi wajah, dan penggunaan elemen-elemen simbolik. Penggunaan empat aktor ini memberi kesan bahwa mereka, barangkali, bisa mewakili siapa dan apa saja.

Berbagai isu sosial yang diangkat dalam naskah ini, seperti banyaknya kasus bunuh diri dalam “Jangan Mati Sebelum Dia Tiba,” menggambarkan fenomena bunuh diri sebagai respons terhadap tekanan hidup, ketidakpedulian sosial, serta hilangnya harapan. Kenyataan macam ini adalah situasi-situasi rentan yang kerap kita atau orang di sekitar kita hadapi. Kita bahkan bisa saja tidak menyadari sinyal-sinyal keputusasaan tersebut, dan akhirnya, barangkali kita sudah terlambat. Oleh karena itu, saya pikir menumbuhkan kesadaran dan kepekaan terhadap orang sekitar kita adalah hal yang sangat penting. Setidaknya untuk menanyakan kabar atau bagaimana situasi psikis seseorang di sekitar kita serta membuka ruang bercerita yang tidak menghakimi.

Sedangkan dalam pertunjukan “Gila Orang Gila,” terlihat bagaimana kondisi gangguan jiwa dan marginalisasi terjadi, serta bagaimana masyarakat memperlakukan individu dengan gangguan mental, sering kali dengan stigma tertentu atau bahkan pengabaian. Hal ini adalah realitas yang juga hadir di sekeliling kita dan krusial untuk dipercakapkan, mengingat banyaknya orang yang memiliki kondisi kesehatan mental tertentu dan terjadi di berbagai wilayah. Sementara itu, “Beri Aku Pantai yang Dulu” mencoba mempercakapkan dampak dari reklamasi yang tidak memperhitungkan keberlanjutan ekologi dan kehidupan sosial masyarakat setempat. Salah satu adegan menarik dalam pertunjukan ini adalah pemberian mikrofon yang diarahkan ke penonton, membuat batas antara pertunjukan dan penonton menjadi melebur.

Naskah lakon karya Shinta Febriany dan Kala Teater Makassar ini menunjukkan kritik realitas sosial dan lingkungan yang kuat. Penggunaan teater dokumenter sebagai pendekatan utama memberi kesan yang sangat terhubung dan memantik pengalaman personal pembaca atau penonton. Secara keseluruhan, karya ini sangat penting sebagai refleksi terhadap kondisi sosial dan lingkungan di Kota Makassar, ataupun kota-kota lainnya. Naskah ini menawarkan pengalaman ketubuhan menonton yang berbeda, sekaligus mengajak kita untuk berpikir ulang tentang realitas yang ada di sekitar. Dengan pendekatan yang digunakan dan isu-isu yang relevan, saya pikir naskah ini juga berusaha mengatakan dan mengajak kita untuk turut menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar saksi.

Berita Lainnya

  • Apa yang Menunggu di Ujung Cinta itu?

    oleh Raihan Robby Afrizal Malna, memberi judul naskah lakon dance me to…

    baca lebih lanjut

  • Beri Aku Kota Makassar yang Dulu

    Oleh Santi Dewi Naskah lakon ini merupakan respons terhadap isu-isu sosial dan…

    baca lebih lanjut

  • Transisi Remaja ke Bukan Perjaka

    oleh Gilang “Gilbo” Alamsyah Lakon Bukan Perjaka adaptasi dari karya Nuril Basri…

    baca lebih lanjut

  • Rumah Tangga bagi Harimau dan Kucing

    oleh Gilang “Gilbo” Alamsyah Konon katanya, percekcokan kecil oleh dua orang suami-istri…

    baca lebih lanjut