Oleh Ida Bagus Uttarayana Rake Sandjaja
Membaca lakon Keluarga Moechtar karya Bintang Kichi, dengan latar realis, membuat saya membayangkan sudah berapa lakon bergenre realis yang sudah saya baca selama ini. Dari lakon Ayahku Pulang karya Taufik Ismail, Sayang ada Orang Lain karya Utuy Tatang Sontani, hingga Tuhan Tolong Bunuh Emak karya Yessy Natalia, dari beragam konflik internal keluarga yang dihadirkan dalam lakon-lakon realis semacam ini, lantas timbul pertanyaan baru bagi saya, se fucked-up itukah masalah yang mungkin terjadi di dalam dinamika sebuah keluarga?
Saya memilih kata “fucked-up” karena penggunaan bahasa campuran ala Jaksel pun menjadi pilihan struktur bahasa dalam lakon ini. Tapi pemilihan bahasa dalam lakon ini cukup punya latar belakang yang kuat, karena hampir semua tokoh dalam lakon ini diceritakan pernah tinggal lama di luar negeri. Mungkin sayangnya, dalam lakon ini tidak tertera titimangsa kapan lakon ini ditulis, jadi pun saya tidak bisa meyakinkan apakah penulis semacam terinfluence tentang bahasa inggris campuran ini, sehingga menggunakannya dalam lakon ini.
Membangun Realisme pada Panggung Realis
Neben-teks awal, atau yang biasanya menjadi pengantar gambaran latar panggung yang dihadirkan pada sebuah lakon, baik realis ataupun yang non-realis, menjadi hal yang paling penting sebagai titik berangkat imajinasi calon penggarap. Pada lakon Keluarga Moechtar, panggung dibuka dengan gambaran rumah-rumah gedong seperti yang mungkin dibayangkan pada perumahan elit kota besar seperti Pantai Indah Kapuk, Pondok Indah, Senayan atau perumahan elit lainnya. Rumah besar dengan desain yang mewah, memperlihatkan latar belakang finansial dari Keluarga Moechtar, dimana Edi Moechtar sebagai kepala keluarga yang memang memiliki riwayat pekerjaan sebagai Diplomat Kenegaraan Indnonesia untuk beberapa negara di Timur Tengah.
Ruang tengahnya sendiri penuh dengan berbagai ornamen dunia yang kebanyakan berasal dari Timur Tengah.
Pada potongan neben-teks diatas, penghadiran ornamen atau semacam hiasan dinding yang berasal dari Timur Tengah, bisa dijadikan simbolis status sosial yang didapatkan Edi Moechtar dari pekerjaannya sebagai Diplomat Luar Negeri. Bisa dibayangkan atmosfer kemegahan, suasa pencahayaan yang serba kuning sebagai penguat kesan glamour.
Dapat ditemukan beberapa lukisan yang mendokumentasikan perjalanan keluarga. Masing-masing dilengkapi dengan sebuah kalimat keterangan; “Papa, Mama, and King Faisal of Saudi Arabia. –Jeddah 1964”, “Papa with President Yasser Arafat. –Lebanon 1973”, “Keluarga Mochtar. –Kairo 1979”. Di sisi lain terdapat sebuah karpet Gabeh yang menggantung lurus di dinding tepat di antara berbagai foto yang juga dilengkapi dengan kalimat keterangan; “Ical dan Teddy di Boston”, “Papa, Mama, dan Bens Mochtar (3 th)”.
Selanjutnya, juga digambarkan beberapa pigura yang berisi foto-foto keluarga Moechtar ketika Edi Moechtar masih berdinas di Timur Tengah. Terlebih foto-foto yang membuktikan Edi Mochtar sebagai diplomat, dengan berfoto bersama beberapa petinggi negara di Timur Tengah. Yang menarik adalah, bahwa posisi foto-foto yang berjejeran sebagai bukti kebersamaan keluarga itu, khususnya pada “masa kejayaan” keluarga Moechtar, ketika masih tinggal di Timur Tengah, menyimpan kesan kontradiktif dengan isu yang sedang dibahas selama lakon berjalan, yaitu perpecahan keluarga. Pigura-pigura foto itu semacam menjadi simbol ringkih, yang punya potensi pecah, dan hanya menjadi artefak keluarga, artefak keharmonisan.
Dihadirkannya dua prop utama sebagai penghantar panggung, ornamen timur tengah dan pigura-pigura foto keluarga Moechtar, menjadi faktor kuat sebagai salah satu pembangun narasi status sosial keluarga Moechtar. Saya sendiri belum membayangkan, apakah ada tawaran pendekatan artistik lain yang bisa menggantikan dua unsur tadi? Terlepas kebutuhan teknis membangun properti di atas panggung. Atau pertanyaan lain yang muncul adalah, pendekatan “minimalism” seperti apa yang cocok untuk “mengakali” keramaian properti pada lakon Keluarga Moechtar?
Drama Satu Babak, Padat namun Singkat
Konflik dalam lakon Keluarga Moechtar sangat intens, alurnya khas Aristotelian, dengan ending yang dibuat anti-klimaks. Saking intensnya, kita semacam sudah terbayang bagaimana alotnya pembahasan harta warisan sebuah keluarga, ditambah intrik-intrik konflik yang membuntuti di belakang semua masalah yang tumbuh menaun. Kegagalan Edi Moechtar sebagai kepala keluarga, ialah tak terbacanya potensi konflik dari sifat anak-anaknya, yang notabene sedari kecil hidup dengan gelimang harta dan kekayaan, kesempatan tinggal di luar negeri sebagai anak seorang diplomat, hingga kenakalan-kenakalan remaja khas orang-orang kaya.
Diceritakan konflik keluarga itu pertama kali muncul ketika Diana mengandung anak dari perselingkuhannya dengan Teddy, anak paling badung di keluarga Moechtar. Padahal Diana adalah istri dari Beni, anak bungsu dari keluarga Moechtar. Dengan alasan maskulinitas-klasik, Diana terjerumus dalam bujuk rayu Teddy, yang mungkin memang punya segala aspek “liar” yang tidak dimiliki oleh Teddy. Pertemuan Teddy dan Beni akan selalu menjadi pertemuan saudara kandung yang canggung, dan Ical sebagai kakak tertua seperti harus menjadi wasit di antara keduanya. Misalkan ketika Ical melihat momen semua pertengkaran mulai sedikit mereda, setelah kepulangan Diana yang menyisakan tangisan untuk Teddy, yang kebingungan atas perannya sebagai ayah kandung Suar. Ical dan Teddy mencoba mencairkan suasana dengan mengingat masa-masa mereka ketika masih kecil, tentu ingatan itu melibatkan Beni di dalamnya.
Beni hanya diam dan tatapannya tiba-tiba berubah menjadi serius. Ia memberi pandangan marah ke arah Teddy. Bibirnya bergetar dan matanya perlahan melotot.
Beni : NO.
Teddy dan Ical merasa heran dengan raut wajah Beni.
Beni : NO!
Beni menggebrak meja dan berdiri.
Beni : (Meledak) SHE WAS MY WIFE, TED! SHE WAS MY–
Suara Beni bergetar. Ia menangis.
Momen anti-klimaks inilah yang membuyarkan angan perdamaian dalam keluarga Moechtar. Siapa yang bisa membayangkan istrinya dihamili oleh kakak kandungnya sendiri? Rekonsiliasi seperti apa yang bisa dilakukan atas realita semacam itu? Keluarga Moechtar seperti berada pada sebuah pertigaan jalan. Mereka bertiga; Ical, Teddy, dan Beni, bertemu pada titik pertemuan, hanya untuk menyadari bahwa mau tidak mau mereka harus pergi lagi kepada jalan hidupnya masing-masing, membawa warisan yang tak seberapa itu jika dibandingkan dengan hancurnya hubungan keluarga Moechtar.
Halaman Tokoh yang Menjebak
Mungkin ini pertanyaan terbesar bagi saya, mengapa lembar dalam ‘halaman tokoh’, bagian di mana biasanya penunjuk profil tokoh yang berperan dalam sebuah lakon, sengaja tidak untuk diberitahukan ke penonton? Halaman tokoh pada lakon Keluarga Moechtar menghabiskan sebanyak 3 lembar, dengan penjelasan yang sangat detail mengenai siapa saja subjek yang berkelindan dalam konflik lakon Keluarga Moechtar. Dan setelah saya selesai membaca bagian halaman tokoh, pada bagian sinopsis pada lakon hanya berisi 2 baris kalimat yang bertuliskan:
“Naskah berlangsung pada tahun 2010, 3 tahun semenjak meninggalnya Edi, dan 7 tahun semenjak insiden.”
Saya berpikir sayang sekali para penonton diposisikan untuk tidak mengetahui peristiwa dibalik konflik-konflik yang terjadi di dalam lakon Keluarga Moechtar. Dan jika harus dibandingkan dengan struktur lakon konvensional, lantas bertemu dengan lakon Keluarga Moectar dengan special-rulenya, saya mengusulkan (jika saya bayangkan bisa bertemu dengan penulis) untuk halaman tokoh atau boleh saya sebut halaman 0 konflik ini, ditaruh pada halaman terakhir saja, setelah kata “Tamat”. Usul tersebut muncul, ketika saya mencoba mengambil posisi sebagai penonton, yang tentu dibayangkan saya hadir dalam pertunjukan lakon ini, baik secara bentuk utuh sebuah pertunjukan teater, maupun dalam bungkusan dramatic reading.
Mari kita ambil sebuah adegan, momen canggung ketika Teddy datang, dan bertemu dengan Beni. Setelah kedatangan Teddy, Diana datang membawa beban masa lalu yang di mana penonton akan menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Tentu sebagai yang sudah membaca halaman tokoh, khususnya penggarap, punya priviledge lebih untuk mengetahui latar belakang masalah keluarga Moechtar. Pertimbangan halaman tokoh pada lakon ini, dengan aturan khususnya, yang membuat saya merasakan sensasi gatal pada tubuh, tapi tidak tau bagian mana yang harus digaruk. Ini mungkin yang membuat kesan bahwa lakon ini terlalu pendek, untuk menceritakan kompleksitas konflik yang terjadi dalam keluarga Moechtar.
Jika lakon ini dibayangkan menjadi semacam pilot-episode sebuah series, maka halaman tokohnya menjadi episode-episode lanjutan yang menjadikan sebuah series dengan alur mundur, ya mungkin dengan intensi agar penonton bisa paham betul bagaimana chaos-nya momen-momen terakhir Edi Moechtar melihat proyeksi hancurnya keluarga harmonisnya.