oleh Santi Dewi
Ketika pertama kali membaca judul naskah lakon ini, saya sempat menduga-duga, apakah akan ada suatu kekalahan dalam cerita ini? Siapa atau apakah yang akan keok?
Saya kemudian mencoba membaca naskah ini dengan pikiran dan perasaan terbuka. Namun, saat baru saja mulai membaca, saya langsung dihadapkan pada situasi yang cukup tidak mengenakkan antara tokoh Luh Sandat dan Made Surya. Made Surya yang terdiam murung terasa berat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan istrinya, sedangkan Luh Sandat terasa kesal dan tidak terima atas apa yang dilakukan oleh suaminya. Sebagai pembaca yang baru saja berniat membaca dengan tenang, saya seperti langsung tersentak dan kebingungan dengan apa yang terjadi di antara dua tokoh suami istri ini.
Setelah membaca lebih lanjut, perlahan saya mulai memahami bahwa suami istri tersebut sedang mengalami kesulitan perihal keuangan. Hingga akhirnya, terjadi dialog antara Made Surya dan Komang Kober. Dialog mengalir dengan santai dan terasa akrab. Sebagai pembaca, awalnya saya tak memiliki kecurigaan apa pun terhadap tokoh Komang Kober. Bahkan, saya terheran-heran bagaimana bisa ada seorang penjudi ulung dan bandar tajen sebaik dan sebertanggung jawab itu?
Sampai pada akhirnya, kepercayaan saya terhadap tokoh Komang Kober perlahan mulai terkikis ketika ia mulai berdialog dengan Suwala. Saya merasa geram saat mengetahui bahwa mereka sedang bersekongkol untuk menyingkirkan Made Surya. Ditambah lagi, Suwala, yang seharusnya berpegang teguh pada visi dan misi profesinya, justru meraup keuntungan dari hal yang tidak semestinya. Sungguh sulit dipercaya.
Adegan kemudian mulai memanas setelah Jero Mangku, yang mengetahui rencana licik itu, membeberkannya kepada Made Surya. Saat Komang Kober berniat melancarkan aksinya, Made Surya segera mempertanyakan niat Komang Kober. Dari situlah, rasanya saya seperti ikut dihantam berkali-kali ketika mendengar kenyataan-kenyataan baru tentang Luh Sandat—istri Made Surya. Tak terbayang sedikit pun dalam benak saya bahwa tokoh Luh Sandatlah yang justru bermain di belakang Made Surya.
Setelah dihantam oleh kenyataan pahit itu, ketika Made Surya mulai menikam tubuh Komang Kober dengan taji, hal yang tak saya duga terjadi seperti seolah menampar saya (sekali lagi). Hal yang terasa begitu tragis dan nahas adalah ketika adegan berakhir dengan darah yang bersimbah, tetapi bukan Komang Kober yang tewas, melainkan Made Surya.
Setelah membaca naskah ini, perasaan sesak dan sulit percaya adalah kesan yang kuat tertinggal pada saya. Rasanya begitu sesak mendapati Made Surya yang harus berakhir sekeok itu dan begitu sulit menerima kenyataan yang terjadi antara Luh Sandat dan Komang Kober. Sebagai orang yang kebetulan juga berlatar belakang Bali, mengetahui realitas yang terjadi pada praktik-praktik tajen di Bali melalui naskah ini cukup memantik benak saya. Meski bukan hal yang asing saya dengar, praktik suap-menyuap, penyalahgunaan wewenang, dan hal-hal terselubung atau bawah tanah lainnya adalah kenyataan yang kerap terjadi.
Kenyataan lain yang saya kira cukup menyedihkan adalah apa yang dialami oleh tokoh Luh Sandat. Situasi ekonomi yang sulit tak jarang mampu menekan kita ke batas-batas irasional, seperti apa yang terjadi antara Luh Sandat dan Komang Kober. Di sisi lain, kehadiran tokoh I Berit, saya pikir, tidak hanya memberi kejenakaan dalam ketegangan yang terjadi, tetapi juga menghadirkan realitas lain yang menggambarkan banyaknya anak-anak terlantar dan yatim yang tumbuh dalam lingkungan sosial tertentu yang barangkali belum sesuai dengan umurnya. Sehingga, terciptalah karakter semacam I Berit.
Secara keseluruhan, saya merasa cukup mampu membayangkan intonasi dialog dan memahami istilah-istilah yang digunakan sehingga saya mampu menikmati lakon ini. Penggunaan istilah Bali yang cukup banyak dalam naskah ini saya kira semakin memperkuat atmosfer lokal itu sendiri. Namun, bagi pembaca yang mungkin tidak familier, hal ini barangkali menjadi tantangan tersendiri. Secara pribadi, saya merasa sangat hanyut dalam cerita. Sampai-sampai, rasanya saya seperti dibangunkan dari lelap mimpi ketika tanpa sadar telah tiba di akhir cerita. Selain alur naskah yang maju, seluruh rangkaian adegan yang terjadi dalam satu waktu membuat cerita ini terasa semakin cepat.
Naskah lakon Keok adalah potret tajam tentang kehidupan desa yang terjebak dalam praktik perjudian, kekuasaan, dan pengkhianatan. Ibed S. Yuga selaku penulis, telah menciptakan lakon yang tidak hanya mengguncang emosi saya sebagai pembaca, tetapi juga mengajak kita berefleksi atas tragedi yang telah terjadi. Sebuah naskah lakon, yang penuh ketegangan, intrik, dan ironi kehidupan.