Apa yang Menunggu di Ujung Cinta itu?

oleh Raihan Robby

Afrizal Malna, memberi judul naskah lakon dance me to the end of love dari lagu Leonard Cohen sebagai jejaring teks. Dalam video klip lagu di YouTube itu, beberapa pasangan lanjut usia menari, mencium pasangannya dengan penuh gairah, sembari sesekali tersenyum menghadap kamera. Sementara di belakang mereka, foto pernikahan dari masa lampau menjadi latar. Kita akan langsung memahami bahwa baik secara lirikal dan visual, Dance Me to The End of Love-nya Cohen adalah sebentuk upaya tarian terakhir sebelum segalanya berakhir: penuaan, kematian, demensia dan segala sakit yang menghantui. Cinta dalam lagu dan video klip itu adalah cinta yang bergelora di tengah kegamangan menghadapi hari akhir.

Saya membaca naskah lakon Afrizal sembari mendengarkan Cohen, jejaring teks juga bertaut dengan jejaring suara. Dalam dance me to the end of love-nya Afrizal, ia membongkar mitos-mitos yang telah lama menjadi fondasi kesadaran sosial kita—Watugunung, Oedipus, dan Sangkuriang—bukan sebagai mitos semata, tetapi sebagai mekanisme yang membentuk norma dan kekuasaan.

Struktur lakon ini “sengaja” merusak pakem dramaturgi konvensional, menolak garis naratif yang linier, dan justru menghidupkan pertemuan antara suara, ruang, dan tubuh dalam lanskap teks yang berloncatan–katakanlah sejenis puitika; puisi dan kaotika–dalam kehancuran sistem yang selama ini kita amini, Afrizal menggiring kita untuk memeriksa ulang satu pertanyaan mendasar: Bagaimana kekuasaan dan norma disusun, dan siapa yang dikorbankan dalam proses itu?

Dengan menggeser fokus dari tiga laki-laki mitologis ke karakter perempuan—Dewi Shinta, Ratu Jocasta, dan Dayang Sumbi—naskah ini mengungkap bagaimana inses dalam ketiga kisah tersebut bukan sekadar tragedi personal, tetapi juga politik gender yang secara sistematis menggiring ibu dari pusat kehidupan ke ruang peminggiran. Keibuan, yang mestinya menjadi sumber kehidupan dan kontinuitas, diubah menjadi bagian dari kehancuran: tubuh perempuan dikodifikasi sebagai ambang batas yang membentuk generasi berikutnya, tetapi juga sekaligus menjadi sumber penghapusan dan pencemaran dalam sistem kuasa yang bergulir.

Dalam naskah ini, keinsesan tidak semata menjadi tragedi keluarga atau kesalahpahaman yang berulang, tetapi sebuah lanskap politik yang membentuk norma-norma sosial, menentukan susunan waktu, dan bahkan menggeser kepemilikan kuasa dalam sistem adat dari perempuan ke laki-laki. Ia menjadikan tubuh ibu sebagai titik mula segala yang ada, lalu memperlihatkan bagaimana sistem masyarakat menggiringnya menuju peminggiran.

Afrizal membangun atmosfer yang menekan, meruntuhkan batas-batas antara “keadaan” yang kita percayai sebagai permanen, dan yang sebenarnya merupakan konstruksi yang terus berevolusi. Dengan jejaring teks yang berkelindan, ia tidak hanya mempertanyakan struktur dramaturgi konvensional tetapi juga menggoyahkan asumsi tentang asal-muasal kuasa, norma, dan sejarah.

Sebuah naskah lakon yang mempertanyakan (atau di titik tertentu, menggugat) pengetahuan dan kekuasaan yang terberi dan kita amini begitu saja. Barangkali, inilah cara Afrizal menyadari bahwa di ujung cinta itu; lintasan evolusi menuju hari akhir, yang perlu kita siapkan hanyalah tubuh yang menari, melepaskan diri dari belenggu pengetahuan dan kekuasaan yang diturunkan dengan kekerasan.


Berita Lainnya

  • Persona Waktu-Sejarah Memotong Orde

    oleh Kiki Sulistyo Semua yang berlangsung di sekitar kita sekarang ini bukanlah…

    baca lebih lanjut

  • Apa yang Menunggu di Ujung Cinta itu?

    oleh Raihan Robby Afrizal Malna, memberi judul naskah lakon dance me to…

    baca lebih lanjut

  • Warisan Moechtar: Keluarga yang Pecah

    Oleh Ida Bagus Uttarayana Rake Sandjaja Membaca lakon Keluarga Moechtar karya Bintang…

    baca lebih lanjut

  • Pintalan Nasib, Menenun Takdir

    Oleh Raihan Robby Dalam naskah lakon Benang-Benang yang Memilih Jalannya, Nurul Inayah…

    baca lebih lanjut